PRABU BASUPARICARA MENINGGALKAN KERAJAAN WIRATA
Prabu Basuparicara di Kerajaan Wirata sedang berduka karena sang permaisuri, yaitu Dewi Yukti meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Wrehadrata. Ia sangat sedih karena dua kali menikah selalu saja kehilangan istri. Yang pertama adalah Dewi Subakti yang meninggal karena sakit, dan yang kedua adalah Dewi Yukti yang meninggal setelah melahirkan. Pada suatu malam datang Batara Narada yang diutus Batara Guru untuk menyampaikan petunjuk bahwa Prabu Basuparicara harus pergi meninggalkan istana Wirata dan menjalani hidup sebagai petapa di hilir Sungai Jamuna. Dengan cara demikian, Prabu Basuparicara akan bertemu jodoh baru, yang kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Setelah mendapatkan petunjuk demikian, Prabu Basuparicara pun menitipkan Kerajaan Wirata kepada adiknya, yaitu Raden Basuketu, kemudian ia berangkat meninggalkan istana menuju Sungai Jamuna.
RADEN BASUKETU MENDAPAT SURAT PANGGILAN DARI PRABU PRATIPA
Pada suatu hari, Raden Basuketu menerima kedatangan Patih Basusara dari Kerajaan Hastina (yang dulu bernama Kerajaan Gajahoya) yang menyampaikan surat dari rajanya, yaitu Prabu Pratipa. Melalui surat itu, Prabu Pratipa menyatakan dirinya kini merdeka dan memakai gelar baru, yaitu Prabu Dewamurti serta tidak lagi menjadi bawahan Kerajaan Wirata. Secara silsilah maupun secara usia, Prabu Dewamurti lebih tua daripada Prabu Basuparicara sehingga ia merasa berhak memanggil raja Wirata untuk datang menghadap kepadanya di Kerajaan Hastina. Setelah membaca surat tersebut, Raden Basuketu berusaha menjawab dengan tenang bahwa saat ini Prabu Basuparicara sedang bepergian meninggalkan istana Wirata. Sebagai wakil raja, ia merasa tidak berwenang menanggapi panggilan Prabu Pratipa. Ia pun menulis surat balasan dan mempersilakan Patih Basusara kembali ke Kerajaan Hastina.
PRABU DEWAMURTI BERSIAP MENYERANG KERAJAAN WIRATA
Prabu Dewamurti di Kerajaan Hastina dihadap ketiga putranya yang bernama Raden Dewapi, Raden Bahlika, dan Raden Santanu. Hadir pula sang mertua, yaitu Prabu Bahlikasura raja Siwandapura beserta Patih Wikuntana. Prabu Bahlikasura datang untuk menanyakan niat Prabu Dewamurti yang kabarnya hendak menaklukkan Kerajaan Wirata. Jika benar demikian, ia bersedia membantu dengan segenap kemampuan. Raden Dewapi, Raden Bahlika, dan Raden Santanu bertanya mengapa sang ayah bermusuhan dengan Kerajaan Wirata, padahal secara silisilah memiliki leluhur yang sama. Prabu Dewamurti pun bercerita bahwa pada mulanya Kerajaan Wirata dipimpin kakeknya, yaitu Prabu Basumurti. Setelah Prabu Basumurti meninggal, takhta seharusnya jatuh kepada putra tunggalnya, yaitu Prabu Hastimurti.
Akan tetapi, Prabu Hastimurti sudah menjadi raja bawahan di Gajahoya, sehingga yang dilantik sebagai raja Wirata adalah Prabu Basukesti, adik Prabu Basumurti. Setelah Prabu Hastimurti meninggal, takhta Gajahoya kemudian diwarisi Prabu Pratipa. Sementara itu, Prabu Basukesti mewariskan takhta Wirata kepada putranya, yaitu Prabu Basukiswara. Usia Prabu Pratipa lebih tua daripada Prabu Basukiswara, tetapi karena silsilah, ia harus memanggil “paman” kepadanya. Selain itu, Prabu Pratipa juga menyimpan dendam karena pamannya dari pihak ibu, yaitu Resi Basundara, pernah diusir oleh Prabu Basukiswara karena peristiwa hilangnya Dewi Yukti yang diculik pelangi jadi-jadian. Prabu Pratipa lalu membangun istana baru di Hutan Kurujanggala yang lebih megah daripada Gajahoya.
Istana baru itu diberi nama Hastina. Nama ini sengaja dipakai untuk mengenang ayahnya, yaitu Prabu Hastimurti. Sementara itu, yang menjadi raja Wirata saat ini adalah Raden Basuketi, putra sulung Prabu Basukiswara yang bergelar Prabu Basuparicara. Karena usia dan silsilah Prabu Pratipa lebih tua, maka ia tidak sudi menjadi bawahan Prabu Basuparicara dan menyatakan Hastina sebagai kerajaan merdeka. Ia pun mengganti gelarnya menjadi Prabu Dewamurti. Setelah mendengar cerita tersebut, ketiga putra Prabu Dewamurti pun mengutarakan pendapat yang berbeda-beda.
Raden Dewapi mendukung Kerajaan Hastina merdeka, tetapi tidak setuju jika ayahnya memerangi raja Wirata karena masih saudara. Raden Bahlika sepenuhnya mendukung Hastina merdeka sekaligus Wirata juga harus ditaklukkan. Sementara itu, Raden Santanu menyarankan agar ayahnya tetap menjaga perdamaian dengan pihak Wirata, dan tidak perlu memerdekakan diri. Raden Santanu juga mengingatkan tentang Resi Basundara yang telah meninggal dunia akibat terlalu memikirkan kemungkinan terjadinya perang saudara antara Wirata dan Hastina. Prabu Dewamurti tersinggung mendengar pendapat putra bungsunya itu. Ia pun memarahi Raden Santanu habis-habisan. Pada saat itulah datang Patih Basusara yang menyampaikan surat balasan dari Kerajaan Wirata, bahwa saat ini Prabu Basuparicara sedang bepergian meninggalkan istana, sehingga wakilnya, yaitu Raden Basuketu tidak berani memenuhi panggilan Prabu Pratipa.
Prabu Dewamurti tersinggung membaca surat balasan tersebut, apalagi Raden Basuketu tidak mengakui gelar barunya. Kini tekadnya telah bulat untuk menyerang dan menaklukkan Kerajaan Wirata. Ia pun memerintahkan Patih Basusara untuk mengumpulkan seluruh pasukan Hastina yang ditambah dengan bala bantuan dari Kerajaan Siwandapura.
RADEN SANTANU MELAPORKAN AYAHNYA KEPADA PIHAK WIRATA
Sementara itu, Raden Basuketu di Kerajaan Wirata sedang berunding dengan Patih Wasita, Arya Manungkara, Arya Srimadewa, serta para punggawa lainnya. Mereka membicarakan tentang sikap Prabu Dewamurti yang menyatakan Kerajaan Hastina telah merdeka dan tidak mau lagi menjadi bawahan Wirata. Tiba-tiba Raden Santanu datang menghadap dan melaporkan rencana ayahnya yang hendak menyerang Kerajaan Wirata dengan mengerahkan gabungan pasukan Hastina dan Siwandapura. Raden Basuketu terkejut sekaligus marah mendengar laporan ini. Ia pun berterima kasih kepada Raden Santanu dan segera menyebarkan surat kepada Kerajaan Mandraka dan Gandaradesa supaya mengirimkan bala bantuan untuk menghadapi serangan besar-besaran Prabu Dewamurti tersebut.
RESI MAHOSADA BERTAPA DI HILIR SUNGAI JAMUNA
Tersebutlah seorang petapa bernama Resi Mahosada yang sedang bersamadi di hilir Sungai Jamuna. Pada suatu hari ia didatangi pendeta bernama Resi Nirmalacipta dari Padepokan Giripurna. Resi Nirmalacipta ini mengaku telah kehilangan putrinya yang bernama Endang Adrika, yang jatuh tercebur di Sungai Jamuna kemudian hanyut terbawa arus. Menurut petunjuk Dewata, Resi Nirmalacipta harus meminta bantuan Resi Mahosada yang saat ini sedang bertapa di hilir Sungai Jamuna. Resi Mahosada menyanggupi permintaan Resi Nirmalacipta tersebut. Ia lalu mengheningkan cipta memohon kekuatan dari Dewata untuk menemukan Endang Adrika. Secara ajaib, sepasang lengan Resi Mahosada bisa menjulur sangat panjang untuk digunakannya menyelami dan mengaduk-aduk Sungai Jamuna. Beberapa saat kemudian, kedua lengannya itu kembali ke ukuran semula sambil menggenggam seekor ikan emas betina. Resi Mahosada lalu mengheningkan cipta meruwat ikan emas tersebut. Secara ajaib, wujud ikan itu berubah menjadi seorang perempuan cantik, yang tidak lain adalah Endang Adrika, putri Resi Nirmalacipta.
Resi Nirmalacipta sangat bahagia dan memeluk putrinya yang telah ditemukan tersebut. Endang Adrika pun bercerita bahwa ketika sedang mengambil air, kakinya terpeleset dan tubuhnya tercebur ke dalam Sungai Jamuna. Entah bagaimana, tiba-tiba saja wujudnya berubah menjadi seekor ikan emas betina. Kini, berkat bantuan Resi Mahosada, ia pun terbebas dari kutukan dan kembali lagi menjadi manusia. Pada saat itulah datang Batara Narada yang menyampaikan perintah Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka supaya Resi Nirmalacipta menikahkan Endang Adrika dengan Resi Mahosada, yang tidak lain adalah penyamaran Prabu Basuparicara raja Wirata. Batara Narada berpesan pula bahwa dari perkawinan itu kelak akan lahir raja-raja Tanah Jawa. Batara Narada kemudian menyampaikan petunjuk kedua, bahwa Kerajaan Wirata saat ini akan berperang dengan Kerajaan Hastina. Akan tetapi, Prabu Basuparicara tidak perlu khawatir karena Raden Basuketu mampu mengatasi masalah ini. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun undur diri kembali ke kahyangan. Resi Nirmalacipta sangat berkenan menerima perintah Dewata. Ia pun mengundang Prabu Basuparicara singgah di Padepokan Giripurna. Prabu Basuparicara menolak secara halus karena saat ini ia harus segera kembali ke Kerajaan Wirata yang sedang dalam keadaan genting.
PRABU DEWAMURTI GUGUR DALAM PEPERANGAN
Sementara itu, Prabu Dewamurti yang memimpin langsung gabungan pasukan Hastina dan Siwandapura telah tiba di wilayah Kerajaan Wirata. Kedatangan mereka disambut oleh gabungan pasukan Wirata, Mandraka, dan Gandaradesa yang dipimpin langsung oleh Raden Basuketu. Perang besar pun terjadi. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Setelah sehari penuh bertempur, Prabu Bahlikasura raja Siwandapura tewas di tangan Raden Basuketu yang bersenjatakan pedang Candrahasa, warisan Srimaharaja Purwacandra di zaman dulu. Melihat mertuanya terbunuh, Prabu Dewamurti sangat murka dan menerjang Raden Basuketu. Pertarungan sengit terjadi antara mereka. Raden Basuketu yang lebih muda dan kalah pengalaman terdesak oleh kesaktian Prabu Dewamurti. Akan tetapi, kemenangan itu membuat Prabu Dewamurti lengah, sehingga lehernya pun putus terpenggal pedang Candrahasa di tangan Raden Basuketu. Melihat ayah dan kakeknya tewas, Raden Bahlika bergegas melarikan diri bersama Patih Wikuntana menuju Kerajaan Siwandapura di tanah seberang, sedangkan Raden Dewapi dan Patih Basusara menyerahkan diri.
RADEN SANTANU DILANTIK MENJADI RAJA HASTINA
Prabu Basuparicara dan istri barunya, yaitu Endang Adrika, telah tiba di Kerajaan Wirata. Raden Basuketu menyambut kedatangan mereka dan melaporkan segala yang telah terjadi. Prabu Basuparicara sangat sedih mendengarnya, apalagi peristiwa itu harus berakhir dengan kematian Prabu Dewamurti yang masih kerabat sendiri. Prabu Basuparicara lalu memanggil dua putra mendiang Prabu Dewamurti yang tersisa, yaitu Raden Dewapi dan Raden Santanu untuk menentukan siapa di antara mereka yang harus mewarisi Kerajaan Hastina. Sebagai putra sulung, tentunya Raden Dewapi lebih berhak atas takhta ayahnya. Akan tetapi, Raden Santanu memberi tahu Prabu Basuparicara bahwa kakaknya itu menderita penyakit kulit yang kadang-kadang kambuh dan bisa menular. Seorang raja yang memiliki penyakit seperti ini tentunya akan sangat berbahaya dan bisa kehilangan wibawa di mata rakyat.
Raden Dewapi tersinggung mendengar ucapan adiknya. Ia mengakui bahwa dirinya memang memiliki penyakit kulit yang kadang-kadang kambuh. Akan tetapi, cara bicara Raden Santanu sangat menyakitkan hati. Ditambah lagi perbuatan Raden Santanu yang telah mengkhianati ayah sendiri, jelas ini sangat durhaka. Raden Dewapi pun merelakan takhta Kerajaan Hastina diwarisi Raden Santanu, namun ia juga mengutuk adiknya itu kelak hanya akan memiliki anak saja, tanpa memiliki cucu, sehingga takhta akan jatuh ke tangan orang luar. Setelah mengucapkan kutukan tersebut, Raden Dewapi bergegas pergi meninggalkan istana Wirata untuk bertapa di dalam hutan. Raden Santanu sangat prihatin dan ia pun menjelaskan kepada Prabu Basuparicara bahwa dirinya sama sekali tidak ada niat durhaka kepada orang tua. Tujuannya melapor ke Wirata adalah untuk menyadarkan ayahnya agar jangan memberontak. Tak disangka, sang ayah justru terbunuh dalam pertempuran tersebut. Prabu Basuparicara memercayai penuturan Raden Santanu.
Ia lalu mengangkat putra bungsu mendiang Prabu Dewamurti itu sebagai raja Hastina, bergelar Prabu Santanu, atau lengkapnya Prabu Santanumurti. Adapun jabatan menteri utama tetap dipegang oleh Patih Basusara. Prabu Basuparicara sangat menyesali kematian Prabu Pratipa Dewamurti yang seharusnya tidak perlu terjadi. Hanya karena berebut wibawa dan kuasa, mengapa sesama saudara harus saling membunuh? Untuk itu, Prabu Basuparicara pun menyatakan mulai hari ini Kerajaan Hastina tidak lagi menjadi bawahan Kerajaan Wirata, dan Prabu Santanu dianggap sebagai sekutu yang sederajat. Prabu Santanu sangat berterima kasih atas kepercayaan ini. Meskipun telah merdeka, ia menyatakan tetap menganggap raja Wirata sebagai sesepuh yang akan selalu dihormati layaknya pengganti orang tua. Sementara itu, Prabu Basuparicara yang pernah mendapatkan pengalaman ajaib yaitu berlengan sangat panjang, kini mendapatkan gelar baru pula, yaitu Prabu Dirgabahu.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra dan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa